Revitalisasi Birokrasi atau yang biasa disebut reformasi Birokrasi sebenarnya telah lama menjadi tema kampanye dari pemerintahan sejak bergulirnya reformasi tahun 1998. setelah lebih sewindu reformasi ternyata perkembangan reformasi Birokrasi pun belum mengalami perubahan yang signifikan, sama saja mungkin dengan reformasi hukum bahkan atau lebih parah lagi yang sebagian kalangan menilainya jalan ditempat.
Banyak hal yang dilakukan untuk mengoptimalkan upaya reformasi Birokrasi yang masih menunjukkan kelemahan, salah satunya dengan akan segera dibentuknya Dewan Reformasi Birokrasi yang digagas oleh harian Indopos dan pontianakpost (jawapost). Dibentuknya dewan ini tentunya kita perlu mengapresi dan memberi harapan besar bahwa kelak reformasi Birokrasi dapat berjalan dengan semestinya, apalagi dewan ini sepenuhnya independen tentu diharapkan mempunyai komitmen yang jelas dengan idealismenya agar dapat memberikan kontribusi bagi percepatan pencapaian revitaslisai Birokrasi..
Secara internal praktik Birokrasi di negara ini sampai saat ini belum dapat dikatakan sehat ditandai antara lain dengan rendahnya kinerja sumberdaya manusia, yakni pegawai negeri sipil (PNS); belum rapinya sistem rekrutmen hingga proses kenaikan pangkat; serta pemberian jabatan yang tidak transparan. Bahkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) masih sangat kental dalam perilaku birokrat di negeri ini. Untuk sebuah jabatan, bukan rahasia lagi mulai dari pejabat eselon IV hingga eselon I tak pernah lepas dari yang namanya isu sogok atau uang pelicin. Akan terjadi praktik dagang jabatan apalagi jika posisi yang diperdagangkan termasuk posisi yang dapat banyak menghasilkan uang atau lahan basah.
Di berlakukannya UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah sebenarnya memberikan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah untuk mandiri dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memperkecil rentang kendali pelayanan antara pusat dan daerah dengan begitu masyarakat akan dapat dengan cepat, mudah, murah dan terjangkauan menerima layanan pembangunan maupun public servis lainnya dari pemerintahan setempat. Sejalan dengan itu seharusnya begitu juga dengan urusan Birokrasi yang harus dilalui dalam rangka pemenuhan kebutuhan kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi apa dinyana jauh panggang dari api, masih saja kita rasakan bahwa dalam hal ini pemerintah belum memiliki komitmen yang jelas, masih saja kita temui penyimpangan-penyimpangan disana-sini dalam tubuh Birokrasi kita.
Berbicara persoalan Birokrasi erat kaitannya dengan tugas dari para birokrat atau aparatur pemerintah sebagai lembaga yang telah diamanatkan untuk memengang tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat. Karena tugas yang hakiki dari setiap pemerintahan dinegara manapun juga adalah mengatur dan mengurus kepentingan rakyatnya (public servant). Sebagai orang yang telah diberikan amanah untuk melakukan pelayanan kepada public harusnya aparatur pemerintah dapat memahami bahwa mereka bersikap sebagai pelayan, dalam hal ini pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Hakakat pelayanan public ini yang masih dirasakan kurang oleh aparatur pemerintah kita. Menurut Tjosvold (1993) bahwa hakekat pelayanan public adalah melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi atau dengan kata lain jika memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu kehormatan bagi manusia untuk mamanusiakan manusia.
Bercermin pada kondisi hari ini kita akan mendapatkan kenyataan yang terbalik dalam hal pelayanan public. Hal ini dapat terjadi akibat dari pandangan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah bersifat monopoli sehingga masyarakat akan menerima apapun perlakuan yang diberikan oleh pemerintah walau tidak menyenangkan bahkan memberatkan sekalipun. Yang lebih parahnya lagi jika para “pelayan” itu lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada masyarakat yang harus dialayaninya. Sehingga menjamurlah apa yang dinamakan uang pelicin dsb yang dipergunakan untuk mempermudah proses-proses Birokrasi tersebut. Padahal dalam menurut wallis, 1989:3-4, bahwa setiap Birokrasi harus bebebas dari segala urusan pribadi (personally free) selain yang berkaitan dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan dan wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya daripada tugas-tugas lain selain apa yang telah dibebankan kepadanya.
Namun lacur yang terjadi kondisi sebagian aparatur kita selalu menempatkan kepentingan pribadi diatas tanggungjawabnya sebagai pelayan masyarakat. Kita tak asing mungkin jika mengurus sesuatu di institusi (Birokrasi) pemerintahan menemui “jalur lambat/biasa” dan “jalur cepat”. Ternyata bukan hanya di Jakarta saja yang mempergunakan jalur khusus / cepat yang diberi nama transjakarta atau lebih popular dengan sebutan busway untuk mengatasi kemacetan, ternyata untuk mempercepat sampai pada tujuan kita di institusi pemerintahan pun ada yang namanya “jalur busway”. Tentulah cost yang dikeluarakan untuk jalur cepat ini berbeda dengan jalur biasa yang rumit dan berbelit-belit. Celakanya lagi itu sudah menjadi rahasia umum, tarif yang dibebankan berbeda-beda tergantung besar kecilnya urusan dan waktu yang diperlukan, serta ada hampir disetiap instansi atau ini salah satu bentuk korupsi berjemaah yang dilakukan aparatur pemerintah kacangan.
Sebut saja seperti mengurus KTP, KK, IMB atau SIM kita selalu dihadapkan pada pertanyaan mau yang “biasa” atau “kilat”? tentulah sebagai pengguna jasa layanan kita akan memilih jalur kedua yang tentunya cepat dan tidak rumit apalagi jika waktu yang dimiliki terbatas walau harus merogoh kocek lebih dalam. Dari segi akuntabilitasnya tentu jalur-jalur ini tidak akuntabel sama sekali karena biasanya akan masuk kekocek-kocek pribadi dari aparatur itu sendiri. Ironis jika biasanya praktek-praktek seperti ini biasa dilakukan dan diketahui di dalam institusi itu sendiri. Secara etika Birokrasi tentu telah menyalahi etika yaitu asas tidak mencampur adukkan kewenangan (principle of on misue of competence) yang bisa juga berarti asas tidak menyalahgunakan kekuasaan. Bayangkan mengurus surat saja kadang-kadang harus menempuh jalur Birokrasi yang panjang dan berbelit untuk sampai kepada atasan bahkan salah satu institusi terbesar di daerah ini urusan surat menyurat dan proposal bisa mencapai 2 bulanan untuk mengurusnya, luar biasa urusan yang seharusnya singkat dan mudah menjadi sedemikian rumitnya.
Revitalisasi Birokrasi yang sering didengung-dengungkan nampaknya sampai hari ini masih merupakan lip servis dari pemerintah untuk menarik simpati rakyat., terbukti dengan masih banyaknya praktek-praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat masih saja belum mendapatkan pelayanan yang prima dari apartur pemerintahan, diskriminasi dan perlakukan yang tidak menyenangkan dalam rangka mendapatkan hak pelayanan sering dijumpai sampai detik ini. Apalagi transpformasi semangat revitalisasi Birokrasi kadang tidak sampai pada tataran praksis dari pelayan (aparatur pemerintahan), sehingga terkesan semangat revitalisasi hanya dimiliki oleh jajaran petingginya saja sedangkan untuk jajaran bawah masih memberikan pelayanan kepada masyarakat ala kadarnya saja. Sering dijumpai di institusi pemerintahan aparatur yang langsung berhadapan dengan masyarakat (costumer) menunjukkan sikap prilaku yang kurang menyenangkan, bermuka masam dengan perkataan-perkataan yang kasar dan acuh.
Untuk itu menjadi penting menjunjung tinggi komitmen yang terlanjur sudah menjadi terrucap oleh pemerintahan saat ini yaitu revitalisasi Birokrasi dan terpenting lagi adalah harus adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk mereformasi internal Birokrasinya. Reformasi Birokrasi harus terjadi secara menyeluruh mulai dari tingkatan pimpinan hingga ke jajaran bawah, walau akan mendapatkan resistensi dari internal Birokrasi itu sendiri. Jika raformasi / revitalisasi Birokrasi ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh pemerintah maka dengan begitu upaya percepatan mensejahterakan rakyat dan melayani rakyat akan segera dapat terwujud. Dengan akan segera di deklarasikannya Dewan Reformasi Birokrasi yang digagas oleh harian Indopost dan Pontianakpost diharapkan nantinya juga mampu mengawal sepenuhnya upaya percepatan reformasi Birokrasi ini di Kalimantan Barat khususnya. Semoga..
Banyak hal yang dilakukan untuk mengoptimalkan upaya reformasi Birokrasi yang masih menunjukkan kelemahan, salah satunya dengan akan segera dibentuknya Dewan Reformasi Birokrasi yang digagas oleh harian Indopos dan pontianakpost (jawapost). Dibentuknya dewan ini tentunya kita perlu mengapresi dan memberi harapan besar bahwa kelak reformasi Birokrasi dapat berjalan dengan semestinya, apalagi dewan ini sepenuhnya independen tentu diharapkan mempunyai komitmen yang jelas dengan idealismenya agar dapat memberikan kontribusi bagi percepatan pencapaian revitaslisai Birokrasi..
Secara internal praktik Birokrasi di negara ini sampai saat ini belum dapat dikatakan sehat ditandai antara lain dengan rendahnya kinerja sumberdaya manusia, yakni pegawai negeri sipil (PNS); belum rapinya sistem rekrutmen hingga proses kenaikan pangkat; serta pemberian jabatan yang tidak transparan. Bahkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) masih sangat kental dalam perilaku birokrat di negeri ini. Untuk sebuah jabatan, bukan rahasia lagi mulai dari pejabat eselon IV hingga eselon I tak pernah lepas dari yang namanya isu sogok atau uang pelicin. Akan terjadi praktik dagang jabatan apalagi jika posisi yang diperdagangkan termasuk posisi yang dapat banyak menghasilkan uang atau lahan basah.
Di berlakukannya UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah sebenarnya memberikan tanggung jawab yang besar kepada pemerintah daerah untuk mandiri dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dan memperkecil rentang kendali pelayanan antara pusat dan daerah dengan begitu masyarakat akan dapat dengan cepat, mudah, murah dan terjangkauan menerima layanan pembangunan maupun public servis lainnya dari pemerintahan setempat. Sejalan dengan itu seharusnya begitu juga dengan urusan Birokrasi yang harus dilalui dalam rangka pemenuhan kebutuhan kesejahteraan masyarakatnya. Tetapi apa dinyana jauh panggang dari api, masih saja kita rasakan bahwa dalam hal ini pemerintah belum memiliki komitmen yang jelas, masih saja kita temui penyimpangan-penyimpangan disana-sini dalam tubuh Birokrasi kita.
Berbicara persoalan Birokrasi erat kaitannya dengan tugas dari para birokrat atau aparatur pemerintah sebagai lembaga yang telah diamanatkan untuk memengang tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat. Karena tugas yang hakiki dari setiap pemerintahan dinegara manapun juga adalah mengatur dan mengurus kepentingan rakyatnya (public servant). Sebagai orang yang telah diberikan amanah untuk melakukan pelayanan kepada public harusnya aparatur pemerintah dapat memahami bahwa mereka bersikap sebagai pelayan, dalam hal ini pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Hakakat pelayanan public ini yang masih dirasakan kurang oleh aparatur pemerintah kita. Menurut Tjosvold (1993) bahwa hakekat pelayanan public adalah melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi atau dengan kata lain jika memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu kehormatan bagi manusia untuk mamanusiakan manusia.
Bercermin pada kondisi hari ini kita akan mendapatkan kenyataan yang terbalik dalam hal pelayanan public. Hal ini dapat terjadi akibat dari pandangan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah bersifat monopoli sehingga masyarakat akan menerima apapun perlakuan yang diberikan oleh pemerintah walau tidak menyenangkan bahkan memberatkan sekalipun. Yang lebih parahnya lagi jika para “pelayan” itu lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada masyarakat yang harus dialayaninya. Sehingga menjamurlah apa yang dinamakan uang pelicin dsb yang dipergunakan untuk mempermudah proses-proses Birokrasi tersebut. Padahal dalam menurut wallis, 1989:3-4, bahwa setiap Birokrasi harus bebebas dari segala urusan pribadi (personally free) selain yang berkaitan dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan dan wajib mendahulukan tugas pokok dan fungsinya daripada tugas-tugas lain selain apa yang telah dibebankan kepadanya.
Namun lacur yang terjadi kondisi sebagian aparatur kita selalu menempatkan kepentingan pribadi diatas tanggungjawabnya sebagai pelayan masyarakat. Kita tak asing mungkin jika mengurus sesuatu di institusi (Birokrasi) pemerintahan menemui “jalur lambat/biasa” dan “jalur cepat”. Ternyata bukan hanya di Jakarta saja yang mempergunakan jalur khusus / cepat yang diberi nama transjakarta atau lebih popular dengan sebutan busway untuk mengatasi kemacetan, ternyata untuk mempercepat sampai pada tujuan kita di institusi pemerintahan pun ada yang namanya “jalur busway”. Tentulah cost yang dikeluarakan untuk jalur cepat ini berbeda dengan jalur biasa yang rumit dan berbelit-belit. Celakanya lagi itu sudah menjadi rahasia umum, tarif yang dibebankan berbeda-beda tergantung besar kecilnya urusan dan waktu yang diperlukan, serta ada hampir disetiap instansi atau ini salah satu bentuk korupsi berjemaah yang dilakukan aparatur pemerintah kacangan.
Sebut saja seperti mengurus KTP, KK, IMB atau SIM kita selalu dihadapkan pada pertanyaan mau yang “biasa” atau “kilat”? tentulah sebagai pengguna jasa layanan kita akan memilih jalur kedua yang tentunya cepat dan tidak rumit apalagi jika waktu yang dimiliki terbatas walau harus merogoh kocek lebih dalam. Dari segi akuntabilitasnya tentu jalur-jalur ini tidak akuntabel sama sekali karena biasanya akan masuk kekocek-kocek pribadi dari aparatur itu sendiri. Ironis jika biasanya praktek-praktek seperti ini biasa dilakukan dan diketahui di dalam institusi itu sendiri. Secara etika Birokrasi tentu telah menyalahi etika yaitu asas tidak mencampur adukkan kewenangan (principle of on misue of competence) yang bisa juga berarti asas tidak menyalahgunakan kekuasaan. Bayangkan mengurus surat saja kadang-kadang harus menempuh jalur Birokrasi yang panjang dan berbelit untuk sampai kepada atasan bahkan salah satu institusi terbesar di daerah ini urusan surat menyurat dan proposal bisa mencapai 2 bulanan untuk mengurusnya, luar biasa urusan yang seharusnya singkat dan mudah menjadi sedemikian rumitnya.
Revitalisasi Birokrasi yang sering didengung-dengungkan nampaknya sampai hari ini masih merupakan lip servis dari pemerintah untuk menarik simpati rakyat., terbukti dengan masih banyaknya praktek-praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat masih saja belum mendapatkan pelayanan yang prima dari apartur pemerintahan, diskriminasi dan perlakukan yang tidak menyenangkan dalam rangka mendapatkan hak pelayanan sering dijumpai sampai detik ini. Apalagi transpformasi semangat revitalisasi Birokrasi kadang tidak sampai pada tataran praksis dari pelayan (aparatur pemerintahan), sehingga terkesan semangat revitalisasi hanya dimiliki oleh jajaran petingginya saja sedangkan untuk jajaran bawah masih memberikan pelayanan kepada masyarakat ala kadarnya saja. Sering dijumpai di institusi pemerintahan aparatur yang langsung berhadapan dengan masyarakat (costumer) menunjukkan sikap prilaku yang kurang menyenangkan, bermuka masam dengan perkataan-perkataan yang kasar dan acuh.
Untuk itu menjadi penting menjunjung tinggi komitmen yang terlanjur sudah menjadi terrucap oleh pemerintahan saat ini yaitu revitalisasi Birokrasi dan terpenting lagi adalah harus adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk mereformasi internal Birokrasinya. Reformasi Birokrasi harus terjadi secara menyeluruh mulai dari tingkatan pimpinan hingga ke jajaran bawah, walau akan mendapatkan resistensi dari internal Birokrasi itu sendiri. Jika raformasi / revitalisasi Birokrasi ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh pemerintah maka dengan begitu upaya percepatan mensejahterakan rakyat dan melayani rakyat akan segera dapat terwujud. Dengan akan segera di deklarasikannya Dewan Reformasi Birokrasi yang digagas oleh harian Indopost dan Pontianakpost diharapkan nantinya juga mampu mengawal sepenuhnya upaya percepatan reformasi Birokrasi ini di Kalimantan Barat khususnya. Semoga..
1 komentar:
TRims ya.... Puan atas tulisannya.
saya ingin kenal kamu deh... soalnya tulisan puan oke banget. salam dari Timor- obor Kefamenanu-TTU-Nusa Tennggara Timur.
Posting Komentar