CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu...selamat datang di Puan punya cerita..
Lilypie Next Birthday Ticker
ngobrol bareng yuk!!

Silahkan Isi Buku Tamunya Ya!

Selasa, 11 Desember 2007

WASPADA TERHADAP EKSPANSI BUDAYA GLOBAL; Konsumerisme डान बुदय पोपुलेर

Oleh: Rizky Wahyuni

Menjamurnya acara reality show seperti ajang pencarian bakat atau idola baru ditayangan televisi kita saat ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini telah terjangkiti wabah konsumerisme dan budaya-budaya popular. Hampir – hampir tak ada satu stasiun televisi pun yang tidak menampilkan acara-acara pencarian idola baru seperti Indonesian Idol, AFI, KDI dll, bahkan untuk mencari da’i saja diperlukan popularitas yang dipresentasikan melalui jumlah poling SMS pada setiap penanpilannya. Terlepas dari hal-hal positif yang didapat seperti persaingan antar kontestan, namun secara tidak sadar kita sebenarnya telah terjebak pada budaya-budaya popular dan konsumerisme yang akut.

Infotaiment yang hampir setiap jam silih berganti penayangannya di stasiun TV juga menjadi sarana pendidikan yang jitu bagi berkembangnya budaya konsumerisme dan popular di negeri ini. Kehidupan pribadi selebritis di ekspose tanpa batas, gemerlap dan vulgarnya kehidupan public figure seakan menjadi ekstasi bagi masyarakat, menjadi referensi bagi penganut ideology konsumerisme dan budaya popular ini.

Konsumerisme dan budaya popular sesungguhnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ideology kapitalisme yang banyak mempengaruhi kehidupan social masyarakat di Dunia. Budaya ini diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi. Hasrat masyarakat dijadikan komoditi pasar yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu. Tentu saja keberadaan Kedua ideology ini akan mengancam tatanan nilai dan identitas yang telah dianut oleh masyarakat selama ini, terutama budaya hidup sederhana dan bersahaja.

Kelompok yang terjebak didalam perangkat ideology konsumerisme akan mengembangkan logika komoditi dan gaya hidup dalam kehidupannya. Mereka terperangkap dalam berbagai konstruksi tanda, citra, dan symbol dengan berbagai pesona, dan daya tarik yang ditawarkan. (Yasraf Amir Piliang ; 2005) Sedangkan perangkap ideology budaya popular akan berorientasi pada logika yang bersifat umum, selera massa atau orang kebanyakan dan motivasi hiburan serta semata-mata untuk kesenangan. Relasi yang dikembangkan dalam budaya popular inipun tak lebih seperti relasi antara bintang (star) dengan penggemarnya (fans). Yang mana penggemar akan meniru atau melakukan imitasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh sang bintang, sehingga membuat sang penggemar tidak kreatif dalam mengadopsi apa yang ada.

Secara tidak sadar kebudayaan yang dikuasai oleh ideology baru seperti ini menggiring masyarakat sebagai masyarakat yang diam “silent majority”, yaitu masyarakat yang tidak kreatif dan dikendalikan oleh sekelompok kepentingan tertentu (industri, kapitalis), termasuklah pengendalian tersebut terhadap identitas asli mereka sehingga identitas tersebut tidak muncul atau terhambat perkembangannya. Seperti virus bahasa gaul yang saat ini tengah menginfeksi remaja diperKotaan bahkan telah menjalar hingga ke pinggiran Kota, bahasa gaul tersebut telah mengalahkan bahasa daerah yang biasa disebut dengan bahasa ibu mereka. Mempergunakan bahasa dengan budaya daerahnya dianggap ketinggalan zaman, tidak modern, bahkan sebagian remaja malu bila harus mempertahankan bahasa maupun budaya daerah dalam pergaulan sehari-hari. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja jika tidak menginginkan budaya-budaya daerah akan kalah pamor dengan budaya popular dan budaya konsumerise ini.

Konsumerisme

Hakekat dari budaya konsumerisme adalah memuat seluruh kegiatan konsumsi dengan makna-makna simbolik tertentu (prestise, status dan klas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu. Yaitu sebuah budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terus menerus lewat penggunaan objek-objek komoditi, sebuah budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat (desire) dan keinginan (want) ketimbang logika kebutuhan (need). Dengan kata lain menjadikan komoditi (barang) sebagai objek untuk menentukan ukuran kebahagiaan, status ekonomi hidup seseorang.

Tentunya hal ini akan menciptakan “ketidakpuasan abadi” terhadap apa yang ada seperti penampilan, fungsi dan penampakan citra dari objek komoditi tersebut. Dengan menciptakan kebutuhan yang bukan esensial melainkan artificial. Mesin kapitalisme ini memainkan fungsinya secara terus menerus mengekploitasi atau menciptakan berbagai bentuk keinginan-keinginan baru sekaligus ketidakpuasan-ketidakpuasan baru. Masyarakat sengaja dikondisikan untuk menginginkan sesuatu yang tidak menjadi kebutuhannya ataupun sesuatu yang tidak mendasar pemenuhannya. (Yasraf Amir Piliang ; 2005)

Budaya konsumerisme dan masyarakat konsumtif tidak dapat dipisahkan dari wacana-wacana kapitalisme global, wacana ini dibangun atas kondisi persaingan yang tinggi antar perusahaan maupun produsen, persaingan ketat dalam masyarakat konsumtif sehingga membuat komoditi sebagai cara untuk menciptakan perbedaan antar individu. Kita akan merasa hebat dan berkelas jika merk atau tipe handphone yang dipergunakan berbeda bahkan diatas tipe/merk handphone orang lain disekitar atau mobil yang dipergunakan keluaran terbaru bahkan para wanita akan merasa menarik jika mempergunakan jenis baju-baju tertentu seperti tanktop atau you can see.

Terlihat disini Dunia yang dibentuk dari budaya konsumerisme berdasarkan nilai-nilai keterpesonaan saja, menafikkan esensi dari sebuah komoditi tersebut. Yang dijadikan konstruksi pada masyarakat konsumtif adalah daya pesona terhadap pencitraan dan penampakan, tanpa memperdulikan nilai-nilai esensinya terutama nilai-nilai transendennya seperti nilai-nilai spiritualitas. Masyarakat seperti ini dapat kita sebut sebagai masyarakat tontonan yang selalu dituntut untuk mempertontonkan penampilan dan penampakan diri secara narsistik kepada orang lain.

Budaya popular

Perkembangan industrialisasi, kapitalisme dan konsumerisme merupakan factor dominan dari penciptaan budaya popular (popular culture). Berkembangnya industrialisasi di eropa lewat peran kapitalisme dalam memproduksi benda kebudayaan sebagai komoditas dapat dengan serta merta mempengaruhi budaya popular tersebut yang biasa disingkat dengan budaya pop. Dalam hal ini budaya pop dikaitkan budaya massa, yaitu budaya yang diproduyksi untuk massa dalam jumlah banyak dan luas, mengikuti pola produksi massa.

Menurut Thodor Adorno seorang pemikir Frankfurt School, dalam bukunya the culture industri, ia membagi budaya menjadi 2 bagian yaitu high culture dan low culture. High culture atau budaya kelas tinggi yaitu budaya yang mempunyai standart (kualitas, selera dan estetika) yang tinggi, diciptakan dari kemampuan berkreatifitas dan daya inovasi tinggi sehingga menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda. Sedangkan low culture kebalikan dari high culture tersebut, mengandalkan pada teknik reproduksi, pengulangan dan imitasi dari apa yang ada sebelumnya.

Untuk budaya pop Theodor memasukkannya dalam kategori budaya rendah (low culture). Popular dalam konteks budaya ini dapat menunjukkan bahwa budaya yang diproduksi tersebut untuk orang kebanyakan dengan standart estetika atau selera rendah dan pasaran. Budaya pop menunjukkan pada budaya yang standar rata-rata dan selera orang biasa, diproduksi secara massal.

Budaya pop didiciptakan dari imajinasi popular yaitu imajinasi dan fantasi yang dibangun secara sadar oleh orang atau sekelompok orang tertentu untuk membedakan mereka dengan orang lain. Motif utama dalam hal ini adalah keuntungan (profit). Imajinasi pop merupakan bentuk imajinasi yang dicirikan oleh sifat dasar, rendah dan umum. Termasuklah dalam imajinasi poular ini adalah komunikasi, cara berfikir, ritual, symbol dan seni.

1. Cara berfikir (popular thinking) yaitu cara berfikir yang dipengaruhi oleh budaya pop, berfikir praktis hanya mengedepankan selera massa dengan sifat dangkal tidak subtantif.

2. Komunikasi popular, dicirikan oleh sifat-sifat permukaan tidak menyentuh isi, lebih menjurus pada hiburan ketimbang pendidikan, menawarkan rasa kesenagan daripada pengetahuan. Dewasa ini komunikasi pop seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ambil saja contohnya da’wah keagamaan, disini banyak menawarkan penanpilan popular seperti unsure komedi, lawakan, musik dll. Da’I tak ubahnya seperti selebritis dihadapan penggemarnya sehingga para penggemar tersebut lebih memilih mengoleksi barang-barang mereka, meniru penampilan mereka seperti model baju, model rambut bukannya mengamalkan dan menjalankan perintah maupun isi dari daekwah yang disampaikan.

3. Ritual popular yakni bermacam ritual keagamaan yang secara massal dilakukan dengan paradigma budaya pop serta mempergunakan logika komoditi. Berbagai metode psikologi digunakan untuk menentukan kelas dan tingkat ekonomi dari ritual yang diikuti, seperti bimbingan agama dengan penentuan klas eksekutif khusus untuk kalangan eksekutif, klas profesioanal untuk kalangan profesioanal, klas umum dst.

4. Symbol popular terjadinya pencampuran kontradiktif antara wacana simbolik tertentu dengan symbol popular, dengan kata lain symbol-simbol popular digunakan dalam wacana tertentu seperti politik, pendidikan, kesehatan dll.

Ideology konsumerisme dan budaya popular tersebut diatas telah menggiring masyarakat kedalam bentuk pendangkalan pemikiran, mengutamakan sifat permukaan serta pencitraan saja. Ideology popular dan konsumerisme mengutamakan citra ketimbang makna, kulit luar dibanding isi, popularitas ketimbang intelektualitas, yang tentunya kan menghambat proses pencerahan kebudayaan dan menghambat perkembangan identitas diri sebab tanpa sadar kita digiring pada penampakan luar yang semu. Tentunya kita tidak ingin bangsa ini kehilangan jati diri akibat ekspansi budaya popular dan konsumerisme ini dan terus menerus terbuai dengan budaya-budaya hasil rekayasa industrialisasi serta kapitisme global ini, tertuma generasi muda sebagai pewaris kebudayaan bangsa. Untuk itulah kewaspadaan terhadap kedua budaya ini menjadi penting bagi kelangsungan budaya bangsa, jika tidak menginginkan budaya lokal tergerus oleh arus globalisasi ini. Waullahualam bissawab…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ada daftar pustakanya gak?